TUGAS PKN 1
ARTIKEL TENTANG
PERSATUAN DAN KESATUAN BANGSA
(NASIONALISME)
Dosen : Bp. Walfarianto, M.Si.
Disusun oleh :
DWI HENI UNTARI 11144600041
KELAS A2-11
PROGRAM STUDI S-1 PGSD
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU
PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PGRI YOGYAKARTA
2011
ARTIKEL 1
Menyegarkan Persatuan Bangsa
Posted: 27 April 2009 by admin
in Bangsa,
Organisasi,
Semangat
Oleh : Prof. Dr. Haryono Suyono
Kita
sangat bersyukur bahwa kemerdekaan negara yang kita cintai, Republik Indonesia,
dihasilkan bukan sebagai pemberian gratis dari penjajah, tetapi kita rebut
melalui perjuangan besar bangsa bermodalkan upaya yang gigih dengan
mempersatukan anak bangsa yang beraneka ragam latar belakangnya. Upaya
mempersatukan anak bangsa itu mencapai puncaknya tatkala Founding Fathers
Bangsa Indonesia, Mas Ngabehi Dr. Wahidin Sudirohusodo dan Dr. Sutomo
mendirikan Boedi Oetomo pada tahun 1908. Pendirian Boedi Oetomo itu diikuti
berdirinya Serikat Islam di Solo pada tahun 1912. Munculnya kedua organisasi
itu memberi inspirasi tumbuhnya berbagai lembaga serupa dalam berbagai aneka
bentuknya di seluruh Indonesia.
Tumbuhnya
berbagai organisasi atau lembaga tersebut mulai mewarnai niacin menebalnya
semangat nasioanalisme dan kebangsaan dengan wawasan yang tinggi dan lebih
luas. Duapuluh tahun kemudian, sekitar tahun 1928, anak-anak muda seperti Bung
Karno, Bung Hatta, dan lainnya, mulai memainkan peranannya menyebar luaskan
semangat nasionalisme dan semangat kebangsaan tersebut. Seri tulisan Bung Karno
dan kawan-kawannya melalui media massa seperti Suluh Indonesia Muda, Panji
Islam, Pembangun, dan lainnya, menjadi acuan bagi anak muda pejuang pada masa
itu.
Menarik
diamati bahwa topik yang menjadi pembicaraan hari ini, sudah ditulis oleh Bung
Karno mulai tahun 1926, atau barangkali sebelumnya. Bahkan Bung Karno menulis
bahwa pembahasan tentang nasionalisme, kebangsaan dan bangsa telah dibahas oleh
para ilmuan sejak tahun 1882. Mengutip tulisan Bung Karno, menurut pendapat
seorang pujangga Ernest Renan, bangsa adalah suatu nyawa, suatu azas akal, yang
terjadi dari dua hal, pertama, rakyat itu dulunya harus menjalani suatu
riwayat; kedua, rakyat itu sekarang harus mempunyai kemauan, dan keinginan
hidup menjadi satu. Menurut pujangga Ernest Renan itu, pengertian suatu bangsa
bukan sekedar kesamaan jenis ras, jenis bahasa, agania, persamaan kebutuhan,
atau batas-batas negeri saja.
Menurut
Bung Karno, pendapat Renan itu diperkuat oleh ahli-ahli lain seperti Karl Kautasky
dan Karl Radek, utamanya juga oleh Otto Bauer yang mempelajari secara mendalam
masalah bangsa itu. “Bangsa adalah suatu persatuan perangai yang terjadi dari
persatuan hal-ihwal yang telah dijalani oleh rakyat itu “. Sedangkan
nasionalisme adalah suatu itikad, suatu keinsyafan rakyat bahwa rakyat itu satu
golongan, satu “bangsa” ! Tekad dan motivasi inilah yang dianggap oleh Bung
Karno menjiwai Boedi Oetomo dan lembaga serta organisasi lain yang secara
serentak bangkit membangun persatauan dan kesatuan dari anak-anak bangsa yang
berbeda latar belakangnya.
Pembicaraan
tentang persatuan, nasionalisme dan kebangsaan itu tidak pernah berhenti. Dua
tahun kemudian, pada bulan Agustus 1928, sewaktu menanggapi tulisan H. Agus
Salim, Bung Karno kembali menulis bahwa para aktifis pergerakan harus berbesar
hati karena semangat persatuan sudah merambah kemana-mana. Semangat itu
mewarnai berdirinya klub-klub studi di kota-kota pendidikan seperti Bandung dan Surabaya,
dan juga gerakan kepanduan pada waktu itu. Semangat persatuan, menurut Bung
Karno, menjadi alas dan sendi yang teguh Partai Politik seperti PNI. Semangat
persatuan itu juga menjadi roh dan penuntun bagi berdirinya dan geraknya
Permufakatan Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI).
Setelah
Bung Karno menjabat sebagai Presiden, baik melalui pidato maupun
langkah-langkah politiknya, kita melihat upaya yang gigih menuangkan roh
persatuan, nasionalisme dan kebangsaan tersebut dalam membangun bangsa. Pada
jaman Pak Harto kita melihat juga usaha yang dilakukan sama gigihnya.
Setidaknya ada tiga hal tentang persatun dan kesatuan yang ditekankan kepada
masyarakat. Pertama, adanya kenyataan sejarah perjuangan bersama melawan
penjajahan merebut kemerdekaan. Kedua, adanya konsepsi Wawasan Nusantara yang
menyatukan tanah air dan bangsa ini dari Sabang sampai Merauke. Dan ketiga,
konsekwensi logis dari kedua kenyataan tersebut. Pak Harto melihat bahwa
pengalaman historis perjuangan yang berat melawan penjajah, seperti juga
diungkap oleh para sesepuh pendiri bangsa, telah berhasil mengatasi perbedaan
ras, agama dan latar belakang lainnya.
Dalam
hubungan ini jelas bahwa Pak Harto, sejak awal kepemimpinannya tidak
menghendaki sebuah masyarakat Indonesia
yang membesar-besarkan perbedaan yang ada. Pak Harto selalu mendambakan
persatuan dan kesatuan biarpun untuk itu harus sabar menunggu dengan melakukan
musyawarah untuk mufakat dalam waktu yang relative lama. Namun dapat dicatat
bahwa sekali konsensus dan persatuan dan kesatuan itu tercipta, Pak Harto akan
memeliharanya dengan tekun, sungguh-sungguh dan kalau perlu dengan tegas
menindak pengganggunya. Latar belakang sebagai orang Jawa dan militer memberi
Pak Harto kemampuan memimpin pemeliharaan dan pengembangan persatuan dan
nasionalisme yang menarik. Dalam menghadapi gangguan persatuan yang bersifat
SARA, suku, agama, ras, aliran/golongan, latar belakang militer yang
dimilikinya memberinya kemampuan bertindak tegas. Di pihak lain, untuk menjaga
persatuan dan kesatuan bangsa, Pak Harto selalu siap untuk “momong” dengan penuh
kasih saying kepada seluruh anak bangsanya.
Kalau
hari ini kita bicara masalah filosofis nasionalisme dan Pancasila, sekaligus
mengkaitkannya dengan globalisasi, kita kembali ingat kepada kedua pemimpin
besar kita, Bung Karno dan Pak Harto, bagaimana menanggapi masalah tersebut.
Bung Karno sangat terkenal sebagai pemimpin yang non-kompromis. Pak Harto
selalu percaya dan berusaha memberdayakan anak bangsanya untuk menjadi anak
bangsa yang mandiri. Pertanyaan yang mendasar apakah pesan-pesan dan rumusan
dari Founding Fathers itu masih relevan. Kalau tidak, apa lagi yang perlu kita
kembangkan. Kalau melihat sejarah kenegaraan kita pesan dan rumusan itu masih
sangat relevan. Bukti-bukti penyimpangan selama ini selalu berakhir dengan khaos. Karena
itu, kalau hari ini kita membatasi diri pada diskusi masalah falsafah dan
kemungkinan pengembangan struktur dan langkah-langkah menghadapi globalisasi,
kami harapkan diskusi selanjutnya menyoroti upaya mendaratkan Pancasila lebih
konkrit. Pembicaraan topik-topik yang lebih konkrit itu sangat penting, karena
ada tuduhan bahwa elite politik pada awal reformasi, terangsang eforia
reformasi mencoba memisahkan diri dari masa lalu, melupakan semangat
nasionalisme yang oleh Founding Fathers diramu melalui persatuan dan kesatuan
dengan sabar. Ada
kecenderungan setelah dilakukan amandemen UUD 1945, implementasinya melupakan
pesan semangat musyawarah untuk mufakat yang dengan jelas mewarnai gerakan
Kebangkitan Nasional seratus tahun lalu. Kita cenderung menerima system demokrasi
liberal dengan pendekatan konflik yang sangat berbeda dengan semangat yang
terkandung dalam Pancasila yang menganut penyelesaian masalah melalui
musyawarah untuk mufakat.
ARTIKEL 2
Pemahaman
Lintas Budaya Dalam Konteks Kesatuan Bangsa (Wacana Budaya Sebagai Penangkal
Disintegrasi)
Posted by Admin on Tuesday, 28 October 2008
Jakarta 28 Oktober 2008
Oleh Sardjono Sigit,
Widyaiswara Utama (Purn) – Pusdiklat Pegawai DEPDIKNAS
1. Pendahuluan
Sejarah
perjalanan nasionalisme Indonesia
dalam kurun waktu 10 tahunan terakhir ini sedang menghadapi ujian. Sesudah
ulang tahun kemerdekaan ke 63 serta Sumpah Pemuda ke 80 tahun 2008 ini,
ternyata jiwa dan semangat kebangsaan Indonesia, belum menyentuh seluruh anak
bangsa. Sebagai Negara yang lahir dari konsep politik, le desire d’etre
ensemble (Ernest Renan) dan aus Schicksalgemeinschaft erwachsene
Charactergemeinschaft (Otto Bauer) yang dikumandangkan Bung Karno
tahun 1945, Indonesia adalah bekas jajahan Belanda yang dahulu bernama
Nederlandsch Indië dan bukan dari konsep budaya; maka nasionalisme
Indonesia benar-benar masih menghadapi cobaan.
Semboyan
Bhineka Tunggal Ika sebagai konsep pemersatu kultural dan Wawasan Nusantara
sebagai konsep pemersatu geopolitis, masih harus diuji kembali.
Pancasila
sebagai falsafah bangsa ternyata lebih dikenal pada kulitnya ketimbang
essensinya sebagai “Weltanschaung” bangsa. Gejala separatisme dan pergolakan
antar-etnis dan antar-agama serta kepercayaan, begitu juga antagonisme
ideologis antar kelompok yang mempunyai ”warna” berbeda, masih melanda tanah
air. Kemelut ekonomi yang menghantui kehidupan rakyat semenjak krisis 1997-1998
berbarengan dengan gejolak politik yang semakin tidak dapat diprediksi sampai
saat ini, karena apa yang disebut dengan reformasi liberal yang melanda
segi- segi kehidupan sosial kita, telah memberikan pukulan yang amat telak
terhadap eksistensi kebangsaan dan kenegaraan kita.
Ancaman disintegrasi
bangsa dan negara kesatuan Indonesia
sudah tampak didepan mata. Apa yang sedang menanti kita, seperti dikatakan Adam
Schwarz dalam ” A Nation in Waiting, 1994” ? Bangsa ini
sedang menunggu apa ?! Apakah ancaman itu kita biarkan terjadi ? Tergantung
dari kita sendiri, apakah kita sadar, kita mau bersatu, mau pecah berantakan,
mau kembali pada Sumpah Pemuda tahun 1928, sejarah kelak yang akan mencatatnya.
2. Budaya sebagai
pemersatu
Nasionalisme
kita, yang kemudian melahirkan negara dan bangsa Indonesia telah melalaikan satu
unsur penting sebagai pendukungnya, yakni unsur kebudayaan.
Keaneka-ragaman
sosial yang terdapat di seluruhh penjuru tanah air, dengan segala perbedaan
satu sama lain, baik bahasa, adat istiadat, sistem nilai, kebiasaan, cara
pandang dan falsafah hidup, agama dan kepercayaan, tingkat pendidikan dan
kesejahteraan, keterpencilan geografis dan sosial-demografis, merupakan ramuan
yang sangat berpotensi untuk mencerai-beraikan negara kesatuan dan nasionalisme
Indonesia yang masih muda usia ini.
Cultural
pluralism serta multi-ethnicities seperti yang kita miliki dengan potensi
perpecahan yang menghantui eksistensi NKRI ini harus disikapi dengan penyusunan
strategi kebudayaan yang tangguh.
Karena
kesejahteraan sosial yang sebenarnya mampu menjadi perekat nasionalisme
tersebut ternyata tidak kunjung tiba, maka dengan sangat mudah kesadaran
kesukuan dan kedaerahan ini berubah menjadi semangat untuk melepaskan diri
dari negara kesatuan Republik Indonesia.
Semboyan
”persatuan dan kesatuan” yang dikumandangkan setiap hari tanpa terwujudnya
keadilan sosial yang dilandasi oleh ”law and justice” akhirnya hanya
menjadi symbol nasionalisme belaka. Siapa yang mau bersatu kalau diperlakukan
tidak adil ? Apabila secara politis dan ekonomis persatuan dan kesatuan bangsa
ini sudah terancam, maka sudah saatnya kalau kita meneropong ancaman ini dari
sudut kebudayaan.
Jika
faktor kebudayaan ini juga terabaikan, barangkali sulit bagi kita untuk menemukan
unsur lain sebagai penyelamat dari bahaya perpecahan.
Bagaimana pendekatan
kebudayaan ini akan kita terapkan ? Tidak lain hanyalah dengan cara saling mengenal,
memahami, menerima dan menghargai perbedaan kultural dari semua etnik di
tanah air.
Untuk
itu diperlukan suatu wacana budaya atau ”strategi kebudayaan” yang secara
terarah dan sistematis disusun dalam konsep yang matang dengan mengajak semua
elemen bangsa, terutama mass media. Publik harus diberitahu akan masalah
kebangsaan yang belum selesai ini. Para
budayawan didengar pendapat dan pandangannya. Mereka diharapkan mampu bersuara
dan bertemu pemikirannya dengan para ilmuwan untuk mendorong terjadinya
pemahaman lintas-budaya. Perbedaan ”culture traits” (ciri-ciri budaya)
bukan untuk dipertentangkan dan menjadi sumber perpecahan, tetapi untuk
dimengerti dan dipahami. Saling pengertian (mutual understanding) dan
saling menghargai (mutual respect) inilah yang akan membuahkan toleransi.
Sebagai
fundament dari suatu wujud kesatuan, toleransi adalah segala-galanya. Tanpa
adanya toleransi, jangan diharapkan terjadinya persatuan. Langkah inilah yang
harus dimulai secara konkrit. Dialog antar budayawan, dialog antar ahli-ahli
ilmu sosial, ilmu kebudayaan dan ilmu politik, kemudian dialog antara komponen
budayawan, ilmuwan dan pemerintah untuk menyusun suatu ”strategi kebudayaan”
yang cocok untuk tanah air dengan pluralisme seperti kita. Bagaimana hakekat
perbedaan satu sama lain tadi dapat diubah menjadi bahan perekat kebangsaan,
dan bukan sebaliknya, menjadi senjata perpecahan. Bagaimana setiap ”ethnical
culture trait” mampu menjadi variant yang memperkokoh nasionalisme.
Bagaimana ”bhineka tunggak ika” tidak sekadar menjadi simbol semangat
kebangsaan belaka.
Hasil
dialog inilah yang akan menjadi konsumsi publik, yang diharapkan mampu
mentransfer nilai-nilai lintas budaya (cross cultural values) bagi semua
elemen bangsa. Masyarakat akan memperoleh informasi dan pemahaman baru, bahwa
unsur budaya itu amat sangat penting bagi kehidupan berbangsa dan bernegara yang
sangat pluralistik seperti kita ini.
3. Dialog dengan
budayawan
Dari
wacana dialog antar dan dengan budayawan ini diharapkan dapat terexpose
beberapa prinsip kehidupan berbudaya, yang sifatnya universal, yakni
unsur-unsur yang dikenal dan diterima oleh semua kultur yang hidup di dunia
ini. Misalnya penolakan terhadap nilai-nilai yang tidak
berperi-kemanusiaan, kekejaman, penyiksaan, pembunuhan, pengrusakan, kejahatan
dan lain-lain.
Sementara
itu, setiap kultur pasti mengakui pula nilai-nilai yang penuh dengan kasih
sayang, kehalusan budi, tolong menolong, budi pekerti luhur, etika dan
lain-lain.
Para
budayawan, dari manapun asal usul etnisitasnya, akan dapat mengungkapkan
bagian-bagian yang paling halus dari value-system atau tata-nilai
kulturalnya, apakah itu berupa falsafah hidup, cara memandang manusia dalam
menjalani harkat dan martabatnya, hubungannya dengan Sang Maha Penciptanya,
moralitas keduniawiannya, nilai-nilai religius yang menjadi pegangan hidup di
dunia dan seterusnya.
Karena
kebudayaan juga meliputi peradaban, maka para budayawan juga diharapkan dapat
mengemukakan ukuran-ukuran dari suatu tata-nilai rohaniah, perilaku, budi
pekerti, tatakrama atau sopan santun.
Tata-nilai
seperti inilah yang kemudian menjadi ukuran, walaupun sifatnya relatif,
tergantung dari sudut pandang yang mana dengan kacamata kultural siapa, yang
kemudian dapat memberikan predikat bahwa sesuatu itu disebut ”beradab” (”civilized”)
ataukah sebaliknya, disebut sebagai ”tidak beradab” atau ”uncivilized”.
Banyak
sekali perilaku masyarakat (social behaviour) yang cenderung menyimpang dari
norma tanpa ada sanksi hukum dan dibiarkan berjalan terus-menerus di masyarakat
yang akhirnya ”diterima” sebagai suatu hal yang ”biasa saja”.
Anomali
atau anomi seperti ini, yakni sesuatu yang
berjalan tanpa aturan atau norma (normloosheid-normlessness),
harus dapat ditanggulangi dari sudut adab atau keadaban (civility), sehingga
masyarakat tidak terjerumus terlalu jauh dalam situasi “uncivilzed” seperti sekarang.
Masyarakat
kita yang “patologis” seperti yang dapat kita saksikan di media saat
ini, harus segera disembuhkan dengan tindakan kultural (cultural treatment)
dan pembelajaran keadaban (civility learning).
Karena
politik dan ekonomi ternyata bukan dan belum menjadi therapi yang tepat, yang
dapat menolong penyembuhan, maka sudah tiba saatnya bangsa ini mencari
alternatif lain.
Para
budayawan aktivis seyogyanya terdiri dari sebanyak mungkin representasi dari
sekian banyak etnis di Indonesia.
Kecuali terkenal atau terpandang sebagai tokoh kebudayaan, akan lebih baik
kalau mereka juga mempunyai kedudukan sosial lain, misalnya sebagai
cendekiawan, politikus, akademisi, ulama, pendeta, pendidik, administrator atau
apapun fungsi sosialnya.
Dengan
multi-fungsinya itu, para budayawan dapat memperluas cakrawala dialog dengan
mengaitkannya kepada dunia realitasnya masing-masing. Hal ini akan memberikan
nilai lebih bagi suatu wacana, selama jalannya dialog tidak menyimpang dari
pokok permasalahan, yakni terwujudnya budaya sebagai perisai dan bastillon
(benteng pertahanan) untuk memukul mundur dan melenyapkan ancaman
disintegrasi.
4. Penutup
Gagasan
untuk mengangkat aspek budaya sebagai alternatif pemecahan kemelut nasional
pada saat politics and economical setting tidak mempunyai peranan yang
signifikan untuk menolong bangsa yang menghadapi penyakit ini, kiranya sudah
sangat tepat.
Indonesia mempunyai cukup banyak tokoh-tokoh dan pemikir budaya yang
mempunyai reputasi nasional bahkan internasional. Pikiran dan konsep mereka
perlu didengar.
Yang
positif dan cocok dengan pluralitas-budaya serta tepat untuk multi-etnisitas
kita, harus kita praktekkan. Kalau selama ini pendekatan budaya kurang
diperhatikan, mungkin karena sifat budayawan berbeda dengan politikus. Mereka
terlalu ”bescheiden” untuk membuka mulut dan menonjolkan diri.
Mudah-mudahan
ide ini membawa maslahat untuk kejayaan bangsa dan negara, seperti yang menjadi
cita-cita proklamasi kemerdekaan.
ARTIKEL 3
Mengembalikan Integrasi Nasional Dengan Nasionalisme Tanpa Sifat
Kedaerahan
Thu, 01/05/2008 -
2:31am
Mengembalikan Integrasi Nasional - Oleh :
Yuhelmi Indra
Persatuan
dan kesatuan terasa begitu sangat indah. Dilihat dari kata-katanya saja kita
bisa membayangkan kehidupan di dalamnya akan sangat penuh dengan kebahagian,
ketenangan dan saling bersatu. Inilah yang selalu di dambakan dan diimpikan
oleh masyarakat Indonesia
sampai saat ini.
Integrasi
nasional yang dimaksud disini adalah kesatuan dan persatuan negara. Melihat
keadaan dan kondisi dari Indonesia
dewasa ini, integrasi nasional tidak bisa diwujudkan dengan mudah atau seperti
membalikkan telapak tangan, ini semua disebabkan oleh masyarakat Indonesia
itu sendiri.
Dilihat
dari sejarah Indonesia,
sebelum atau pra-kemerdekaan, bangsa Indonesia sangat bersatu baik dalam
memperjuangkan kemerdekaan maupun dalam mempertahankan identitas nasionalnya.
Sumpah pemuda yang dikumandangkan oleh para pemuda dan pemudi Indonesia mencerminkan bahwa persatuan dan
kesatuan itu merupakan suatu tujuan mutlak untuk meraih kemerdekaan Indonesia.
Kemerdekaan
Indonesia
akhirnya tercapai yaitu pada tanggal 17 Agustus 1945. setelah kemerdekaan
dikumandangkan keseluruh pelosok Indonesia, disusunlah UUD Negara dan Dasar
Negara, dimana di dalamnya dicantumkan dengan jelas kata-kata persatuan dan
kesatuan bangsa. Persatuan dan kesatuan tersebut memang terwujud karena pada
saat itu persatuan dan kesatuan itu memang sangat dibutuhkan untuk
mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Melihat
Indonesia sekarang ini, akan
timbul sebuah pertanyaan besar, apakah masih ada persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia
sekarang ini?. Pertanyaan ini bisa dijawab oleh diri kita masing-masing, apakah
kita benar telah melaksanakan dan mewujudkan rasa persatuan dan kesatuan
tersebut.
Menurut
pengamatan yang saya lihat di dalam kehidupan bermasyarakat bangsa Indonesia
sekarang ini, rasa persatuan dan kesatuan Indonesia bisa dikatakan tidak ada,
kita lebih mementingkan kepentingan individu dari pada kepentingan bersama
sebagai wujud bahwa kita negara yang benar-benar bersatu.
Contohnya
bahwa persatuan dan kesatuan itu tidak ada dapat kita lihat di dalam
masyarakat. Partai-partai politik yang terdapat di Indonesia
sangatlah banyak, partai-partai itu saling berebut untuk mendapatkan posisi
yang paling tinggi dengan cara apapun, dari sini bisa memicu suatu perkelahian massa yang sangat banyak.
Misalnya satu partai melaksanakan kampanye disuatu daerah, kemudian di daerah
tersebut pendukung partai ini bisa dikatakan hanya sepertiga dari masyarakat di
daerah itu, maka bila ada pendukung partai itu melakukan suatu kegiatan yang
dipandang oleh masyarakat sangat tidak menyenangkan maka akan terjadi
perkelahian massa
yang akan menimbulkan korban.
Tidak
hanya itu saja sifat kedaerahan yang kita anut juga sebenarnya adalah penyebab
dari tidak terwujudnya rasa persatuan dan kesatuan sebagai satu bangsa di dalam
diri kita. Kita hanya selalu membanggakan daerah kita masing-masing. selalu
hanya membela daerah kita apabila ada masalah, tapi apabila negara kita dalam
masalah kita hanya bisa mengatakan bahwa itu urusan pemerintah, ini yang salah
pada diri kita, urusan negara bukan hanya urusan pemerintah tetapi juga
merupakan tanggung jawab kita sebagai masyarakat bangsa Indonesia.
Hilangkanlah
rasa kedaerahan yang sangat melekat dalam diri kita, jangan hanya kita
berbangga menjadi penduduk suatu daerah tetapi berbanggalah bahwa kita adalah
bangsa Indonesia, janganlah masalah bangsa Indonesia kita tumpahkan hanya
kepada pemerintah tetapi pikullah masalah itu dan jadikan sebagai masalah kita
bersama, karena dengan bersama kita bisa menyelesaikannya.
Kebersamaan
yang kita bangun dan rasa nasionalisme yang kita junjung tinggi dalam diri kita
masing-masing, ini merupakan suatu jalan untuk mengembalikan integrasi nasional
kita dan memajukan Indonesia
itu sendiri. Dengan kemajuan bagi Indonesia maka kita sebagai
masyarakat yang hidup di dalam negara Indoneisa ini juga akan menjadi
masyarakat yang maju dan memiliki rasa persatuan dan kesatuan yang utuh.
KOMENTAR :
ARTIKEL 3
Mengembalikan
Integrasi Nasional Dengan Nasionalisme Tanpa Sifat Kedaerahan
Saya setuju dengan artikel
tersebut, karena mewmang tanpa kita sadari rasa nasionalisme sedikit demi
sedikit memudar, untuk itu kita harus terus membangun kebersamaan agar terwujud
integrasi nasional yang bertujuan untuk memajukan bangsa Indonesia, agar kelak
masyarakat Indonesia akan semakin maju dan memiliki rasa persatuan dan kesatuan
yang utuh. Untuk itu kita sebagai warga Negara mempunyai tanggung jawab untuk
terus memupuk dan membangun rasa nasionalisme. Selain itu tanamkan semboyan Bhineka
Tunggal Ika pada generasi muda, agar
mereka dapat memahami arti nasionalosme yang seutuhnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar