1/13/2013

pkn

TUGAS PKN 1
ARTIKEL TENTANG
PERSATUAN DAN KESATUAN BANGSA (NASIONALISME)

Dosen : Bp. Walfarianto, M.Si.
 




Disusun oleh :

DWI HENI UNTARI    11144600041

KELAS A2-11




PROGRAM STUDI S-1 PGSD
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PGRI YOGYAKARTA
2011

ARTIKEL 1


Menyegarkan Persatuan Bangsa

Posted: 27 April 2009 by admin in Bangsa, Organisasi, Semangat
Oleh : Prof. Dr. Haryono Suyono
Kita sangat bersyukur bahwa kemerdekaan negara yang kita cintai, Republik Indonesia, dihasilkan bukan sebagai pemberian gratis dari penjajah, tetapi kita rebut melalui perjuangan besar bangsa bermodalkan upaya yang gigih dengan mempersatukan anak bangsa yang beraneka ragam latar belakangnya. Upaya mempersatukan anak bangsa itu mencapai puncaknya tatkala Founding Fathers Bangsa Indonesia, Mas Ngabehi Dr. Wahidin Sudirohusodo dan Dr. Sutomo mendirikan Boedi Oetomo pada tahun 1908. Pendirian Boedi Oetomo itu diikuti berdirinya Serikat Islam di Solo pada tahun 1912. Munculnya kedua organisasi itu memberi inspirasi tumbuhnya berbagai lembaga serupa dalam berbagai aneka bentuknya di seluruh Indonesia.
Tumbuhnya berbagai organisasi atau lembaga tersebut mulai mewarnai niacin menebalnya semangat nasioanalisme dan kebangsaan dengan wawasan yang tinggi dan lebih luas. Duapuluh tahun kemudian, sekitar tahun 1928, anak-anak muda seperti Bung Karno, Bung Hatta, dan lainnya, mulai memainkan peranannya menyebar luaskan semangat nasionalisme dan semangat kebangsaan tersebut. Seri tulisan Bung Karno dan kawan-kawannya melalui media massa seperti Suluh Indonesia Muda, Panji Islam, Pembangun, dan lainnya, menjadi acuan bagi anak muda pejuang pada masa itu.
Menarik diamati bahwa topik yang menjadi pembicaraan hari ini, sudah ditulis oleh Bung Karno mulai tahun 1926, atau barangkali sebelumnya. Bahkan Bung Karno menulis bahwa pembahasan tentang nasionalisme, kebangsaan dan bangsa telah dibahas oleh para ilmuan sejak tahun 1882. Mengutip tulisan Bung Karno, menurut pendapat seorang pujangga Ernest Renan, bangsa adalah suatu nyawa, suatu azas akal, yang terjadi dari dua hal, pertama, rakyat itu dulunya harus menjalani suatu riwayat; kedua, rakyat itu sekarang harus mempunyai kemauan, dan keinginan hidup menjadi satu. Menurut pujangga Ernest Renan itu, pengertian suatu bangsa bukan sekedar kesamaan jenis ras, jenis bahasa, agania, persamaan kebutuhan, atau batas-batas negeri saja.
Menurut Bung Karno, pendapat Renan itu diperkuat oleh ahli-ahli lain seperti Karl Kautasky dan Karl Radek, utamanya juga oleh Otto Bauer yang mempelajari secara mendalam masalah bangsa itu. “Bangsa adalah suatu persatuan perangai yang terjadi dari persatuan hal-ihwal yang telah dijalani oleh rakyat itu “. Sedangkan nasionalisme adalah suatu itikad, suatu keinsyafan rakyat bahwa rakyat itu satu golongan, satu “bangsa” ! Tekad dan motivasi inilah yang dianggap oleh Bung Karno menjiwai Boedi Oetomo dan lembaga serta organisasi lain yang secara serentak bangkit membangun persatauan dan kesatuan dari anak-anak bangsa yang berbeda latar belakangnya.
Pembicaraan tentang persatuan, nasionalisme dan kebangsaan itu tidak pernah berhenti. Dua tahun kemudian, pada bulan Agustus 1928, sewaktu menanggapi tulisan H. Agus Salim, Bung Karno kembali menulis bahwa para aktifis pergerakan harus berbesar hati karena semangat persatuan sudah merambah kemana-mana. Semangat itu mewarnai berdirinya klub-klub studi di kota-kota pendidikan seperti Bandung dan Surabaya, dan juga gerakan kepanduan pada waktu itu. Semangat persatuan, menurut Bung Karno, menjadi alas dan sendi yang teguh Partai Politik seperti PNI. Semangat persatuan itu juga menjadi roh dan penuntun bagi berdirinya dan geraknya Permufakatan Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI).
Setelah Bung Karno menjabat sebagai Presiden, baik melalui pidato maupun langkah-langkah politiknya, kita melihat upaya yang gigih menuangkan roh persatuan, nasionalisme dan kebangsaan tersebut dalam membangun bangsa. Pada jaman Pak Harto kita melihat juga usaha yang dilakukan sama gigihnya. Setidaknya ada tiga hal tentang persatun dan kesatuan yang ditekankan kepada masyarakat. Pertama, adanya kenyataan sejarah perjuangan bersama melawan penjajahan merebut kemerdekaan. Kedua, adanya konsepsi Wawasan Nusantara yang menyatukan tanah air dan bangsa ini dari Sabang sampai Merauke. Dan ketiga, konsekwensi logis dari kedua kenyataan tersebut. Pak Harto melihat bahwa pengalaman historis perjuangan yang berat melawan penjajah, seperti juga diungkap oleh para sesepuh pendiri bangsa, telah berhasil mengatasi perbedaan ras, agama dan latar belakang lainnya.
Dalam hubungan ini jelas bahwa Pak Harto, sejak awal kepemimpinannya tidak menghendaki sebuah masyarakat Indonesia yang membesar-besarkan perbedaan yang ada. Pak Harto selalu mendambakan persatuan dan kesatuan biarpun untuk itu harus sabar menunggu dengan melakukan musyawarah untuk mufakat dalam waktu yang relative lama. Namun dapat dicatat bahwa sekali konsensus dan persatuan dan kesatuan itu tercipta, Pak Harto akan memeliharanya dengan tekun, sungguh-sungguh dan kalau perlu dengan tegas menindak pengganggunya. Latar belakang sebagai orang Jawa dan militer memberi Pak Harto kemampuan memimpin pemeliharaan dan pengembangan persatuan dan nasionalisme yang menarik. Dalam menghadapi gangguan persatuan yang bersifat SARA, suku, agama, ras, aliran/golongan, latar belakang militer yang dimilikinya memberinya kemampuan bertindak tegas. Di pihak lain, untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa, Pak Harto selalu siap untuk “momong” dengan penuh kasih saying kepada seluruh anak bangsanya.
Kalau hari ini kita bicara masalah filosofis nasionalisme dan Pancasila, sekaligus mengkaitkannya dengan globalisasi, kita kembali ingat kepada kedua pemimpin besar kita, Bung Karno dan Pak Harto, bagaimana menanggapi masalah tersebut. Bung Karno sangat terkenal sebagai pemimpin yang non-kompromis. Pak Harto selalu percaya dan berusaha memberdayakan anak bangsanya untuk menjadi anak bangsa yang mandiri. Pertanyaan yang mendasar apakah pesan-pesan dan rumusan dari Founding Fathers itu masih relevan. Kalau tidak, apa lagi yang perlu kita kembangkan. Kalau melihat sejarah kenegaraan kita pesan dan rumusan itu masih sangat relevan. Bukti-bukti penyimpangan selama ini selalu berakhir dengan khaos. Karena itu, kalau hari ini kita membatasi diri pada diskusi masalah falsafah dan kemungkinan pengembangan struktur dan langkah-langkah menghadapi globalisasi, kami harapkan diskusi selanjutnya menyoroti upaya mendaratkan Pancasila lebih konkrit. Pembicaraan topik-topik yang lebih konkrit itu sangat penting, karena ada tuduhan bahwa elite politik pada awal reformasi, terangsang eforia reformasi mencoba memisahkan diri dari masa lalu, melupakan semangat nasionalisme yang oleh Founding Fathers diramu melalui persatuan dan kesatuan dengan sabar. Ada kecenderungan setelah dilakukan amandemen UUD 1945, implementasinya melupakan pesan semangat musyawarah untuk mufakat yang dengan jelas mewarnai gerakan Kebangkitan Nasional seratus tahun lalu. Kita cenderung menerima system demokrasi liberal dengan pendekatan konflik yang sangat berbeda dengan semangat yang terkandung dalam Pancasila yang menganut penyelesaian masalah melalui musyawarah untuk mufakat.



ARTIKEL 2

Posted by Admin on Tuesday, 28 October 2008  
Jakarta 28 Oktober 2008
Oleh Sardjono Sigit, Widyaiswara Utama (Purn) – Pusdiklat Pegawai DEPDIKNAS
1. Pendahuluan
Sejarah perjalanan nasionalisme Indonesia dalam kurun waktu 10 tahunan terakhir ini sedang menghadapi ujian. Sesudah ulang tahun kemerdekaan ke 63 serta Sumpah Pemuda ke 80 tahun 2008 ini, ternyata jiwa dan semangat kebangsaan Indonesia, belum menyentuh seluruh anak bangsa. Sebagai Negara yang lahir dari konsep politik, le desire d’etre ensemble (Ernest Renan) dan aus Schicksalgemeinschaft erwachsene Charactergemeinschaft (Otto Bauer) yang dikumandangkan Bung Karno tahun 1945, Indonesia adalah bekas jajahan Belanda yang dahulu bernama Nederlandsch Indië dan bukan dari konsep budaya; maka nasionalisme Indonesia benar-benar masih menghadapi cobaan.
Semboyan Bhineka Tunggal Ika sebagai konsep pemersatu kultural dan Wawasan Nusantara sebagai konsep pemersatu geopolitis, masih harus diuji kembali.
Pancasila sebagai falsafah bangsa ternyata lebih dikenal pada kulitnya ketimbang essensinya sebagai “Weltanschaung” bangsa. Gejala separatisme dan pergolakan antar-etnis dan antar-agama serta kepercayaan, begitu juga antagonisme ideologis antar kelompok yang mempunyai ”warna” berbeda, masih melanda tanah air. Kemelut ekonomi yang menghantui kehidupan rakyat semenjak krisis 1997-1998 berbarengan dengan gejolak politik yang semakin tidak dapat diprediksi sampai saat ini, karena apa yang disebut dengan reformasi liberal yang melanda segi- segi kehidupan sosial kita, telah memberikan pukulan yang amat telak terhadap eksistensi kebangsaan dan kenegaraan kita.
Ancaman disintegrasi bangsa dan negara kesatuan Indonesia sudah tampak didepan mata. Apa yang sedang menanti kita, seperti dikatakan Adam Schwarz dalam A Nation in Waiting, 1994” ? Bangsa ini sedang menunggu apa ?! Apakah ancaman itu kita biarkan terjadi ? Tergantung dari kita sendiri, apakah kita sadar, kita mau bersatu, mau pecah berantakan, mau kembali pada Sumpah Pemuda tahun 1928, sejarah kelak yang akan mencatatnya.
2. Budaya sebagai pemersatu
Nasionalisme kita, yang kemudian melahirkan negara dan bangsa Indonesia telah melalaikan satu unsur penting sebagai pendukungnya, yakni unsur kebudayaan.
Keaneka-ragaman sosial yang terdapat di seluruhh penjuru tanah air, dengan segala perbedaan satu sama lain, baik bahasa, adat istiadat, sistem nilai, kebiasaan, cara pandang dan falsafah hidup, agama dan kepercayaan, tingkat pendidikan dan kesejahteraan, keterpencilan geografis dan sosial-demografis, merupakan ramuan yang sangat berpotensi untuk mencerai-beraikan negara kesatuan dan nasionalisme Indonesia yang masih muda usia ini.
Cultural pluralism serta multi-ethnicities seperti yang kita miliki dengan potensi perpecahan yang menghantui eksistensi NKRI ini harus disikapi dengan penyusunan strategi kebudayaan yang tangguh.
Karena kesejahteraan sosial yang sebenarnya mampu menjadi perekat nasionalisme tersebut ternyata tidak kunjung tiba, maka dengan sangat mudah kesadaran kesukuan dan kedaerahan ini berubah menjadi semangat untuk melepaskan diri dari negara kesatuan Republik Indonesia.
Semboyan ”persatuan dan kesatuan” yang dikumandangkan setiap hari tanpa terwujudnya keadilan sosial yang dilandasi oleh ”law and justice” akhirnya hanya menjadi symbol nasionalisme belaka. Siapa yang mau bersatu kalau diperlakukan tidak adil ? Apabila secara politis dan ekonomis persatuan dan kesatuan bangsa ini sudah terancam, maka sudah saatnya kalau kita meneropong ancaman ini dari sudut kebudayaan.
Jika faktor kebudayaan ini juga terabaikan, barangkali sulit bagi kita untuk menemukan unsur lain sebagai penyelamat dari bahaya perpecahan.
Bagaimana pendekatan kebudayaan ini akan kita terapkan ? Tidak lain hanyalah dengan cara saling mengenal, memahami, menerima dan menghargai perbedaan kultural dari semua etnik di tanah air.
Untuk itu diperlukan suatu wacana budaya atau ”strategi kebudayaan” yang secara terarah dan sistematis disusun dalam konsep yang matang dengan mengajak semua elemen bangsa, terutama mass media. Publik harus diberitahu akan masalah kebangsaan yang belum selesai ini. Para budayawan didengar pendapat dan pandangannya. Mereka diharapkan mampu bersuara dan bertemu pemikirannya dengan para ilmuwan untuk mendorong terjadinya pemahaman lintas-budaya. Perbedaan ”culture traits” (ciri-ciri budaya) bukan untuk dipertentangkan dan menjadi sumber perpecahan, tetapi untuk dimengerti dan dipahami. Saling pengertian (mutual understanding) dan saling menghargai (mutual respect) inilah yang akan membuahkan toleransi.
Sebagai fundament dari suatu wujud kesatuan, toleransi adalah segala-galanya. Tanpa adanya toleransi, jangan diharapkan terjadinya persatuan. Langkah inilah yang harus dimulai secara konkrit. Dialog antar budayawan, dialog antar ahli-ahli ilmu sosial, ilmu kebudayaan dan ilmu politik, kemudian dialog antara komponen budayawan, ilmuwan dan pemerintah untuk menyusun suatu ”strategi kebudayaan” yang cocok untuk tanah air dengan pluralisme seperti kita. Bagaimana hakekat perbedaan satu sama lain tadi dapat diubah menjadi bahan perekat kebangsaan, dan bukan sebaliknya, menjadi senjata perpecahan. Bagaimana setiap ”ethnical culture trait” mampu menjadi variant yang memperkokoh nasionalisme. Bagaimana ”bhineka tunggak ika” tidak sekadar menjadi simbol semangat kebangsaan belaka.
Hasil dialog inilah yang akan menjadi konsumsi publik, yang diharapkan mampu mentransfer nilai-nilai lintas budaya (cross cultural values) bagi semua elemen bangsa. Masyarakat akan memperoleh informasi dan pemahaman baru, bahwa unsur budaya itu amat sangat penting bagi kehidupan berbangsa dan bernegara yang sangat pluralistik seperti kita ini.
3. Dialog dengan budayawan
Dari wacana dialog antar dan dengan budayawan ini diharapkan dapat terexpose beberapa prinsip kehidupan berbudaya, yang sifatnya universal, yakni unsur-unsur yang dikenal dan diterima oleh semua kultur yang hidup di dunia ini. Misalnya penolakan terhadap nilai-nilai yang tidak berperi-kemanusiaan, kekejaman, penyiksaan, pembunuhan, pengrusakan, kejahatan dan lain-lain.
Sementara itu, setiap kultur pasti mengakui pula nilai-nilai yang penuh dengan kasih sayang, kehalusan budi, tolong menolong, budi pekerti luhur, etika dan lain-lain.
Para budayawan, dari manapun asal usul etnisitasnya, akan dapat mengungkapkan bagian-bagian yang paling halus dari value-system atau tata-nilai kulturalnya, apakah itu berupa falsafah hidup, cara memandang manusia dalam menjalani harkat dan martabatnya, hubungannya dengan Sang Maha Penciptanya, moralitas keduniawiannya, nilai-nilai religius yang menjadi pegangan hidup di dunia dan seterusnya.
Karena kebudayaan juga meliputi peradaban, maka para budayawan juga diharapkan dapat mengemukakan ukuran-ukuran dari suatu tata-nilai rohaniah, perilaku, budi pekerti, tatakrama atau sopan santun.
Tata-nilai seperti inilah yang kemudian menjadi ukuran, walaupun sifatnya relatif, tergantung dari sudut pandang yang mana dengan kacamata kultural siapa, yang kemudian dapat memberikan predikat bahwa sesuatu itu disebut ”beradab” (”civilized”) ataukah sebaliknya, disebut sebagai ”tidak beradab” atau ”uncivilized”.
Banyak sekali perilaku masyarakat (social behaviour) yang cenderung menyimpang dari norma tanpa ada sanksi hukum dan dibiarkan berjalan terus-menerus di masyarakat yang akhirnya ”diterima” sebagai suatu hal yang ”biasa saja”.
Anomali atau anomi seperti ini, yakni sesuatu yang berjalan tanpa aturan atau norma (normloosheid-normlessness), harus dapat ditanggulangi dari sudut adab atau keadaban (civility), sehingga masyarakat tidak terjerumus terlalu jauh dalam situasi “uncivilzed” seperti sekarang.
Masyarakat kita yang “patologis” seperti yang dapat kita saksikan di media saat ini, harus segera disembuhkan dengan tindakan kultural (cultural treatment) dan pembelajaran keadaban (civility learning).
Karena politik dan ekonomi ternyata bukan dan belum menjadi therapi yang tepat, yang dapat menolong penyembuhan, maka sudah tiba saatnya bangsa ini mencari alternatif lain.
Para budayawan aktivis seyogyanya terdiri dari sebanyak mungkin representasi dari sekian banyak etnis di Indonesia. Kecuali terkenal atau terpandang sebagai tokoh kebudayaan, akan lebih baik kalau mereka juga mempunyai kedudukan sosial lain, misalnya sebagai cendekiawan, politikus, akademisi, ulama, pendeta, pendidik, administrator atau apapun fungsi sosialnya.
Dengan multi-fungsinya itu, para budayawan dapat memperluas cakrawala dialog dengan mengaitkannya kepada dunia realitasnya masing-masing. Hal ini akan memberikan nilai lebih bagi suatu wacana, selama jalannya dialog tidak menyimpang dari pokok permasalahan, yakni terwujudnya budaya sebagai perisai dan bastillon (benteng pertahanan) untuk memukul mundur dan melenyapkan ancaman disintegrasi.
4. Penutup
Gagasan untuk mengangkat aspek budaya sebagai alternatif pemecahan kemelut nasional pada saat politics and economical setting tidak mempunyai peranan yang signifikan untuk menolong bangsa yang menghadapi penyakit ini, kiranya sudah sangat tepat.
Indonesia mempunyai cukup banyak tokoh-tokoh dan pemikir budaya yang mempunyai reputasi nasional bahkan internasional. Pikiran dan konsep mereka perlu didengar.
Yang positif dan cocok dengan pluralitas-budaya serta tepat untuk multi-etnisitas kita, harus kita praktekkan. Kalau selama ini pendekatan budaya kurang diperhatikan, mungkin karena sifat budayawan berbeda dengan politikus. Mereka terlalu ”bescheiden” untuk membuka mulut dan menonjolkan diri.
Mudah-mudahan ide ini membawa maslahat untuk kejayaan bangsa dan negara, seperti yang menjadi cita-cita proklamasi kemerdekaan.


ARTIKEL 3

Mengembalikan Integrasi Nasional Dengan Nasionalisme Tanpa Sifat Kedaerahan
Thu, 01/05/2008 - 2:31am
Mengembalikan Integrasi Nasional - Oleh : Yuhelmi Indra
Persatuan dan kesatuan terasa begitu sangat indah. Dilihat dari kata-katanya saja kita bisa membayangkan kehidupan di dalamnya akan sangat penuh dengan kebahagian, ketenangan dan saling bersatu. Inilah yang selalu di dambakan dan diimpikan oleh masyarakat Indonesia sampai saat ini.
Integrasi nasional yang dimaksud disini adalah kesatuan dan persatuan negara. Melihat keadaan dan kondisi dari Indonesia dewasa ini, integrasi nasional tidak bisa diwujudkan dengan mudah atau seperti membalikkan telapak tangan, ini semua disebabkan oleh masyarakat Indonesia itu sendiri.
Dilihat dari sejarah Indonesia, sebelum atau pra-kemerdekaan, bangsa Indonesia sangat bersatu baik dalam memperjuangkan kemerdekaan maupun dalam mempertahankan identitas nasionalnya. Sumpah pemuda yang dikumandangkan oleh para pemuda dan pemudi Indonesia mencerminkan bahwa persatuan dan kesatuan itu merupakan suatu tujuan mutlak untuk meraih kemerdekaan Indonesia.
Kemerdekaan Indonesia akhirnya tercapai yaitu pada tanggal 17 Agustus 1945. setelah kemerdekaan dikumandangkan keseluruh pelosok Indonesia, disusunlah UUD Negara dan Dasar Negara, dimana di dalamnya dicantumkan dengan jelas kata-kata persatuan dan kesatuan bangsa. Persatuan dan kesatuan tersebut memang terwujud karena pada saat itu persatuan dan kesatuan itu memang sangat dibutuhkan untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Melihat Indonesia sekarang ini, akan timbul sebuah pertanyaan besar, apakah masih ada persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia sekarang ini?. Pertanyaan ini bisa dijawab oleh diri kita masing-masing, apakah kita benar telah melaksanakan dan mewujudkan rasa persatuan dan kesatuan tersebut.
Menurut pengamatan yang saya lihat di dalam kehidupan bermasyarakat bangsa Indonesia sekarang ini, rasa persatuan dan kesatuan Indonesia bisa dikatakan tidak ada, kita lebih mementingkan kepentingan individu dari pada kepentingan bersama sebagai wujud bahwa kita negara yang benar-benar bersatu.
Contohnya bahwa persatuan dan kesatuan itu tidak ada dapat kita lihat di dalam masyarakat. Partai-partai politik yang terdapat di Indonesia sangatlah banyak, partai-partai itu saling berebut untuk mendapatkan posisi yang paling tinggi dengan cara apapun, dari sini bisa memicu suatu perkelahian massa yang sangat banyak. Misalnya satu partai melaksanakan kampanye disuatu daerah, kemudian di daerah tersebut pendukung partai ini bisa dikatakan hanya sepertiga dari masyarakat di daerah itu, maka bila ada pendukung partai itu melakukan suatu kegiatan yang dipandang oleh masyarakat sangat tidak menyenangkan maka akan terjadi perkelahian massa yang akan menimbulkan korban.
Tidak hanya itu saja sifat kedaerahan yang kita anut juga sebenarnya adalah penyebab dari tidak terwujudnya rasa persatuan dan kesatuan sebagai satu bangsa di dalam diri kita. Kita hanya selalu membanggakan daerah kita masing-masing. selalu hanya membela daerah kita apabila ada masalah, tapi apabila negara kita dalam masalah kita hanya bisa mengatakan bahwa itu urusan pemerintah, ini yang salah pada diri kita, urusan negara bukan hanya urusan pemerintah tetapi juga merupakan tanggung jawab kita sebagai masyarakat bangsa Indonesia.
Hilangkanlah rasa kedaerahan yang sangat melekat dalam diri kita, jangan hanya kita berbangga menjadi penduduk suatu daerah tetapi berbanggalah bahwa kita adalah bangsa Indonesia, janganlah masalah bangsa Indonesia kita tumpahkan hanya kepada pemerintah tetapi pikullah masalah itu dan jadikan sebagai masalah kita bersama, karena dengan bersama kita bisa menyelesaikannya.
Kebersamaan yang kita bangun dan rasa nasionalisme yang kita junjung tinggi dalam diri kita masing-masing, ini merupakan suatu jalan untuk mengembalikan integrasi nasional kita dan memajukan Indonesia itu sendiri. Dengan kemajuan bagi Indonesia maka kita sebagai masyarakat yang hidup di dalam negara Indoneisa ini juga akan menjadi masyarakat yang maju dan memiliki rasa persatuan dan kesatuan yang utuh.

KOMENTAR :
ARTIKEL 3
Mengembalikan Integrasi Nasional Dengan Nasionalisme Tanpa Sifat Kedaerahan
Saya setuju dengan artikel tersebut, karena mewmang tanpa kita sadari rasa nasionalisme sedikit demi sedikit memudar, untuk itu kita harus terus membangun kebersamaan agar terwujud integrasi nasional yang bertujuan untuk memajukan bangsa Indonesia, agar kelak masyarakat Indonesia akan semakin maju dan memiliki rasa persatuan dan kesatuan yang utuh. Untuk itu kita sebagai warga Negara mempunyai tanggung jawab untuk terus memupuk dan membangun rasa nasionalisme. Selain itu tanamkan semboyan Bhineka Tunggal Ika  pada generasi muda, agar mereka dapat memahami arti nasionalosme yang seutuhnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar