1/13/2013

Pancasila



PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA PEMBANGUNAN BANGSA

Oleh : Dwi Heni Untari

A.  Pentingnya Paradigma dalam Pembangunan
Pembangunan yang sedang digalakkkan memerlukan paradigma, suatu kerangka berpikir atau suatu model mengenai bagaimana hal-hal yang sangat esensial dilakukan. Denis Goulet tokoh yang merintis etika pembangunan menyebut tiga pandangan tentang pembangunan (M.Sasatrapratedja, 2001) :
Pertama, pandangan yang melihat pembangunan sinonim dengan pertumbuhan ekonomi, dengan indikator GNP dan tingkat pertumbuhan per tahun; kedua sebagaimana dirumuskan oleh PBB, bahwa “pembangunan = pertumbuhan ekonomi + perubahan sosial”. Pembangunan dalam artian ini sangat luas, namun kerapkali ditekankan pada perkembangan pembagian kerja, kebutuhan institusi pandangan; ketiga mengenai pembangunan menenkankan nilai-nilai etis. Tekanan diberikan paada peningkatan kualitatif seluruh masyarakat dan seluruh individu dalam masyarakat. Dalam konsepsi ini yang ditekankan bukan hanya hasil yang bermanfaat, tetapi proses pencapaian hasil juga penting. Pembangunan dalam perspektif Pancasila adalah pembangunan yang sarat muatan nilai yang berfungsi menjadi dasar pengembangan visi dan menjadi referensi kritik terhadap pelaksanaan pembangunan.
B.  Implementasi Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan Pendidikan
1.    Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan Pendidikan
Pendidikan pada hakikatnya adalah usaha sadar untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan/keahlian dalam kesatuan organis harmonis dinamis, di dalam dan di luar sekolah dan berlangsung seumur hidup. Mengembangkan kepribadian dan kemampuan/keahlian, menurut Notonagoro (1973) merupakan sifat dwi tunggal pendidikan nasional. Pendidikan nasional harus dipersatukan atas dasar Pancasila. Tak seyogyanya bagi penyelesaian masalah-masalah pendidikan nasional dipergunakan secara langsunag sistem-sistem aliran-aliran ajaran, teori, filsafat, praktek pendidikan berasal dari luar. Menurut Notonagoro (1973), perlu disusun sistem ilmiah berdasarkan Pancasila tentang ajaran, teori, filsafat, praktek pendidikan nasional. Dalam pada itu filsafat pendidikan nasional mempunyai kedudukan dan fungsi sebagai pemberi pedoman dan tujuan, memberi perdalaman, penginti, pendasar, perangkum; penggunaan sistem-sistem dan ajaran-ajaran berasal dari luar setelah diintegrasikan dengan sistem pendidikan nasional hanya sebagai pembantu, perbandingan, pemerkayaan dan dalam lain-lain peranan tidak langsung atau sekunder; dengan demikian akan teratasi pula kemungkinan-kemungkinan terbelahnya kepribadian para ahli pendidikan, yang akibatnya akan menimpa kepada anak didik dengan resiko yang besar bagi hari depan bangsa.
2.    Pancasila sebagai Pembangunan Ideologi
Ideologi adalah suatu kompleks ide-ide asasi tentang manusia dan dunia yang dijadikan pedoman dan cita-cita hidup (Driyakara, 1976). Ideologi bukan hanya pengertian, ideologi adalah prinsip dinamika, karena merupakan pedoman (menjadi pola dan norma hidup) dan sekaligus juga ideal atau cita-cita. Realisasi dari ide-ide yang menjadi ideologi itu dipandang sebagai kebesaran, kemuliaan manusia. Pengembangan Pancasila sebagai ideologi yang memiliki dimensi realitas, idealitas dan fleksibilitas (Pancasila sebagai ideologi terbuka) menghendaki adanya dialog yang tiada henti dengan tantangan-tantangan masa kini dan masa depan dengan tetap mengacu kepada pancapaian tujuan nasional dan cita-cita nasional Indonesia.
3.    Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan Politik
        Manusia Indonesia selaku warga negara harus ditempatkan sebagai subjek atau pelaku politik bukan sekadar objek politik. Pancasila bertolak dari kodrat manusia maka pembangunan politik harus dapat meningkatkan harkat dan martabat manusia. Sistem politik Indonesia yang bertolak dari manusia sebagai subjek harus mampu menempatkan kekuasaan tertinggi pada rakyat. Kekuasaan adalah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Sistem politik Indonesia yang sesuai pancasila sebagai paradigma adalah sistem politik demokrasi bukan otoriter. Berdasar hal itu, sistem politik Indonesia harus dikembangkan atas asas kerakyatan (sila IV Pancasila). Pengembangan selanjutnya adalah sistem politik didasarkan pada asas-asas moral daripada sila-sila pada pancasila. Oleh karena itu, secara berturut-turut sistem politik Indonesia dikembangkan atas moral ketuhanan, moral kemanusiaan, moral persatuan, moral kerakyatan, dan moral keadilan. Perilaku politik, baik dari warga negara maupun penyelenggara negaradikembangkan atas dasar moral  tersebut sehingga menghasilkan perilaku politik yang santun dan bermoral. Pancasila sebagai paradigma pembangunan politik, artinya bahwa nilai-nilai pancasila sebagai wujud cita-cita Indonesia diimplementasikan sebagai penerapan dan pelaksanaan keadilan sosial mencakup keadilan politik, budaya agama dan ekonomi dalam kehidupan sehari-hari, mendahulukan kepentingan rakyat/demokrasi dalam pengambilan keputusan, melaksanakan keadilan sosial dan penentuan perioritas kerakyatan berdasarkan konsep mempertahankan kesatuan bangsa, dalam pelaksanaan pencapaian tujuan keadilan menggunakan pendekatan kemanusiaan yang adil dan beradab. Nilai-nilai kejujuran, toleransi harus bersumber pada nilai-nilai ketuhanan YME.

4.    Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan Ekonomi
         Sesuai dengan paradigma pancasila dalam pembangunan ekonomi maka sistem dan pembangunan ekonomi berpijak pada nilai moral daripada pancasila. Secara khusus, sistem ekonomi harus mendasarkan pada dasar moralitas ketuhanan (sila IPancasila) dan kemanusiaan ( sila II Pancasila). Sistem ekonomi yang mendasarkan pada moralitas dam humanistis akan menghasilkan sistem ekonomi yang berperikemanusiaan. Sistem ekonomi yang menghargai hakikat manusia, baik selaku makhluk individu, sosial, makhluk pribadi maupun makhluk tuhan. Sistem ekonomi yang berdasar pancasila berbeda dengan sistem ekonomi liberal yang hanya menguntungkan individu-individu tanpa perhatian pada manusia lain. Sistem ekonomi demikian juga berbeda dengan sistem ekonomi dalam sistem sosialis yang tidak mengakui kepemilikan individu. Pancasila bertolak dari manusia sebagai totalitas dan manusia sebagai subjek. Oleh karena itu, sistem ekonomi harus dikembangkan menjadi sistem dan pembangunan ekonomi yang bertujuan pada kesejahteraan rakyat secara keseluruhan. Sistem ekonomi yang berdasar pancasila adalah sistem ekonomi kerakyatan yang berasaskan kekeluargaan. Sistem ekonomi Indonesia juga tidak dapat dipisahkan dari nilai-nilai moral kemanusiaan. Pembangunan ekonomi harus mampu menghindarkan diri dari bentuk-bentuk persaingan bebas, monopoli dan bentuk lainnya yang hanya akan menimbulkan penindasan, ketidakadilan, penderitaan, dan kesengsaraan warga negara. Tujuan ekonomi untuk memmenuhi kebutuhan manusia agar lebih sejahtera, maka ekonomi harus menghindarkan diri dari persaingan bebas, dari monopoli, ekonomi harus menghindari yang menimbulkan penderitaan manusia dan yang menimbulkan penindasan manusia satu dengan yang lain

5.    Pancasila sebagai paradigma Pembangunan Sosial-Budaya
       Pancasila pada hakikatnya bersifat humanistik karena memang pancasila bertolak dari hakikat dan kedudukan kodrat manusia itu sendiri. Hal ini sebagaimana tertuang dalam sila Kemanusiaan yang adil dan beradab. Oleh karena itu, pembangunan sosial budaya harus mampu meningkatkan harkat dan martabat manusia, yaitu menjadi manusia yang berbudaya dan beradab. Pembangunan sosial budaya yang menghasilkan manusia-manusia biadab, kejam, brutal dan bersifat anarkis jela bertentangan dengan cita-cita menjadi manusia adil dan beradab. Manusia tidak cukup sebagai manusia secara fisik, tetapi harus mampu meningkatkan derajat kemanusiaannya. Manusia harus dapat mengembangkan dirinya dari tingkat homo menjadi human. Berdasar sila persatuan Indonesia, pembangunan sosial budaya dikembangkan atas dasar penghargaan terhadap nilai sosial dan budaya-budaya yang beragam si seluruh wilayah Nusantara menuju pada tercapainya rasa persatuan sebagai bangsa. Perlu ada pengakuan dan penghargaan terhadap budaya dan kehidupan sosial berbagai kelompok bangsa Indonesia sehingga mereka merasa dihargai dan diterima sebagai warga bangsa. Dengan demikian, pembangunan sosial budaya tidak menciptakan kesenjangan, kecemburuan, diskriminasi, dan ketidakadilan sosial.

6.    Pancasila sebagai Paradigma Ketahanan Nasional
       Salah satu tujuan bernegara Indonesia adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Hal ini mengandung makna bahwa tugas dan tanggung jawab tidak hanya oleh penyelenggara negara saja, tetapi juga rakyat Indonesia secara keseluruhan. Atas dasar tersebut, sistem pertahanan dan keamanan adalah mengikut sertakan seluruh komponen bangsa. Sistem pembangunan pertahanan dan keamanan Indonesia disebut sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta (sishankamrata). Sistem pertahanan yang bersifat semesta melibatkan seluruh warga negara,wilayah, dan sumber daya nasional lainnya, serta dipersiapkan secara dini olehpemerintah dan diselenggarakan secara total terpadu, terarah, dan berlanjut untuk menegakkan kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan segenap bangsa dari segala ancaman. Penyelenggaraan sistem pertahanan semesta didasarkan pada kesadaran atas hak dan kewajiban warga negara, serta keyakinan pada kekuatan sendiri. Sistem ini pada dasarnya sesuai dengan nilai-nilai pancasila, di mana pemerintahan dari rakyat (individu) memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam masalah pertahanan negara dan bela negara. Pancasila sebagai paradigma pembangunan pertahanan keamanan telahditerima bangsa Indonesia sebagaimana tertuang dalam UU No. 3 Tahun 2002 tentang pertahanan Negara. Dalam undang-undang tersebut dinyatakan bahwa pertahanan negara bertitik tolak pada falsafah dan pandangan hidup bangsa Indonesia untuk menjamin keutuhan dan tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

7.    Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan Hukum
Pembangunan hukum bukan hanaya memperhatikan nilai-nilai filosofis, asas yang terkandung dalam konsep negara hukum, tetapi juga mempertimbangkan kualitas penegakan hukum dan kesadaran hukum masyarakat (Moh. Busyro Muqoddas, Salman Luthan & Muh. Miftahudin, 1992). Sistem hukum menurut wawasan Pancasila merupakan bagian integral dari keseluruhan sistem kehidupan masyarakat sebagai satu keutuhan dan karena itu berkaitan secara timbal balik, melaui berbagai pengaruh dan interaksinya, dengan sistem-sistem lainnya. Pancasila sebagai ideologi nasional memberikan  ketentuan mendasar, yakni : (1) sistem hukum dikembangkan berdasarkan nilai-nilai Pancasila sebagai sumbernya, (2) Sistem hukum menunjukkan maknanya, sejauh mewujudkan keadilan, (3) Sistem hukum mempunyai fungsi untuk menjaga dinamika kehidupan bangsa, (4) Sistem hukum menjamin proses realisasi diri bagi para warga banagsa dalam proses pembangunan (Soerjanto Poeswardjo, 1989). Melaui hukum manusia hendak mencapai ketertiban umum dan keadilan. Meski harus disadari bahwa ketertiban umum dan keadilan yang hendak dicapai melaui hukum itu hanya bisa dicapai dan dipertahankan secara dinamis melaui penyelenggaraan hukum dalam suatu proses sosial yang sendirinya adalah fenomena dinamis (Budiono Kusumohardjojo, 2000).
8.    Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan Kehidupan Beragama
Masing-masing agama, bahkan sesungguhnya masing-masing kelompok intern suatu agama, mempunyai idion yang khas, yang hanaya berlaku secara intern. Oleh karena itu, ikut campur penganut agama tertentu terhadap kesucian orang dari agama lain, adalah tidak masuk akal dan hasilnya pun akan nihil (Nurcholis Madjid, 2001). Kita hidup dalam dunia yang mempunyai perbedaan dan pluralisme luar biasa. Termasuk pluralisme keagamaan yang sangat kompleks, yang sangat kompleks, yang membutuhkan ketelitian kajian untuk memperkirakan seberapa jauh warisan keagamaan dan spiritual umat manusia mampu membantu menciptakan dunia yang lebih adil dan penuh kedamaian (Mukti Ali, 1998). Salah satu prasyarat terwujudnya masyarakat modern yang demokratis adalah terwujudnya masyarakat yang menghargai kemajemukan (pluralitas) masyarakat dan bangsa serta mewujudkannya sebagai suatu keniscayaan . kemajemukan ini merupakan sunnatullah (hukum alam). Dilihat dari segi etnis bahasa, agama, dan sebagainya, Indonesia termasuk salah satu negara yang paling majemuk di dunia.  Sehingga terumuskan konsep pluralisme ini dengan semboyan “Bhineka Tunggal Ika”(Masyukri Abdillah, 2001).
Bila agama disalahgunakan, akibatnya bisa amat destruktif dan mengerikan. Orang akan dengan mudah saling membunuh atas nama Tuhan. Fenomena ini tidak saja terjadi antar pemeluk agama yang berbeda, tetapi juga terjadi di kalangan intern pemeluk agama yang sama. Bila keadaan semacam ini yang berlaku, ketulusan dan kejujuran sebagai manifestasi otentik dari iman sudah tidak berdaya lagi. Yang berkuasa adalah bisikan setan yang menjerumuskan (Ahmad Syafi’i Ma’arif, 2001). Ini bertentangan dengan nilai-nilai religius dan nilai-nilai Pancasila.  Dalam kaitannya hubungan antar pemeluk agama, Ahmad Sya’i Ma’arif(2001) menyampaikan formula, “berbeda dalam persaudaraan dan bersaudara dalam perbedaan”. Di luar formula ini dikhawatirkan, agama tidak lagi berfungsi sebagai sumber kedamaian dan keamanan, tetapi menjadi sumber sengketa dan kekacauan, bahkan sumber peperangan.
9.    Pancasila sebagai Paradigma Pengembangan Ilmu dan Teknologi
Pancasila mengandung hal-hal yang penting dalam pengembangan ilmu dan teknologi(T.Jacob, 2000). Sila Ketuhanan Yang Maha Esa mengingatkan manusia bahwa ia hanyalah makhluk yang mempunyai keterbatasan seperti makhluk-makhluk lain. Baik yang hidup maupun yang tidak hidup. Ia tidak dapat terlepas dari alam, sedangkan alam raya dapat berada tanpa manusia. Sila Kemanusiaan yang adil dan beradab sangat penting dalam pengembangan IPTEK. Menyejahterakan manusia haruslah dengan cara-cara yang berperikemanusiaan. Desain, eksperimen, ujicoba dan penciptaan harus etis dan tidak merugikan manusia individual maupaun umat manusia, yang sekarang maupun yang akan datang. Sila Persatuan Indonesia mengingatkan kita untuk mengembangkan IPTEK tentang dan untuk seluruh tanah air dan bangasa. Segi-segi yang khas Indonesia harus mendapat prioritas untuk dikembangkan secara merata untuk kepentingan seluruh bangsa, tidak hanya atau terutama untuk kepentingan bangsa lain. Sila Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan meminta kita membuka kesempatan yang sama bagi semua warga untuk dapat mengembangkan IPTEK, dan mengenyam hasilnya, sesuai kemampuan dan keperluan masing-masing. Sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia memperkuat keadilan yang lengkap dalam alokasi dan perlakuan, dalam pemutusan, pelaksanaan, perolehan hasil, dan pemikulan resiko, dengan memaksimalkan kelompok minimum.   











Wacana Akhir
Istilah paradigma pada mulanya dipakai dalam bidang filsafat ilmu pengetahuan. Menurut Thomas Kuhn, Orang yang pertama kali mengemukakan istilah tersebut menyatakan bahwa ilmu pada waktu tertentu didominasi oleh suatu paradigma. Paradigma adalah pandangan mendasar dari para ilmuwan tentang apa yang menjadi pokok persoalan suatu cabang ilmu pengetahuan. Dengan demikian, paradigma sebagai alat bantu para illmuwan dalam merumuskan apa yang harus dipelajari, apa yang harus dijawab, bagaimana seharusnya dalam menjawab dan aturan-aturan yang bagaimana yang harus dijalankan dalam mengetahui persoalan tersebut. Suatu paradigma mengandung sudut pandang, kerangka acuan yang harus dijalankan oleh ilmuwan yang mengikuti paradigma tersebut. Dengan suatu paradigma atau sudut pandang dan kerangka acuan tertentu, seorang ilmuwan dapat menjelaskan sekaligus menjawab suatu masalah dalam ilmu pengetahuan.
Istilah paradigma makin lama makin berkembang tidak hanya di bidang ilmu pengetahuan, tetapi pada bidang lain seperti bidang politik, hukum, sosial dan ekonomi. Paradigma kemudian berkembang dalam pengertian sebagai kerangka pikir, kerangka bertindak, acuan, orientasi, sumber, tolok ukur, parameter, arah dan tujuan. Sesuatu dijadikan paradigma berarti sesuatu itu dijadikan sebagai kerangka, acuan, tolok ukur, parameter, arah, dan tujuan dari sebuah kegiatan. Dengan demikian, paradigma menempati posisi tinggi dan penting dalam melaksanakan segala hal dalam kehidupan manusia.






DAFTAR PUSTAKA

Abdulkadir Besar. 1996. “Perkembangan Ideologi-Ideologi Dunia dan Ketahanan Nasional”, dalam Ichlasul Amal & Armaidy Armawi (ed). Sumbangan Ilmu Sosial terhadap Konsepsi Ketahanan Nasional. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.


Ahmad Syafi’i Ma’arif. 2001. “Agama dan Ketulusan”, dalam Nur Achmad (ed), Pluralitas Agama : Kerukunan dalam Keberagaman. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.


Budiono Kusumohanidjojo. 2000. Kebhinekaan Masyarakat Indonesia : Suatu Problematik Filsafat Kebudayaan. Jakarta: Penerbit PT. Gramedia Widiasarana Indonesia.


Burhanudin Daya. 2004. Agama Dialogis. Yogyakarta: LKIS

Driyakara. 1980. Driyakara Tentang Pendidikan, Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

-------------. 2006. Karya Lengkap Driyakara. A. Sudiardja, dkk (ed). Yogyakarta: Penerbit Kompas, Gramedia & Kanisius.


Masykuri Abdillah. 2001. “Pluralisme dan Toleransi”, dalam Nur Achmad (ed), Pluralitas Agama : Kerukunan dan Keragaman, Jakarta: Penerbit Buku Kompas.


Moh. Busyro Muqoddas, Salman Luthan & Muh. Miftahudin (ed). 1992. Politik Pembangunan Hukum Nasional. Yogyakarta: Penerbit UII Press.


M. Sastrapratedja. 2001. Pancasila sebagai Visi dan Referensi Kritik Sosial, Yogyakarta: Penerbit Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.



Muchtar Buchori. 2001. Pendidikan Antisipatoris. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Mubyarto. 1997. “Bung Hatta dan Perekonomian Rakyat” dalam Pemikiran Pembangunan Bung Hatta. Jakarta: LP3ES.


Notonagoro. 1973. Filsafat Pendidikan Nasional Pancasila, FIP IKIP YOGYAKARTA.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar