PANCASILA
SEBAGAI PARADIGMA PEMBANGUNAN BANGSA
Oleh
: Dwi Heni Untari
A.
Pentingnya Paradigma dalam Pembangunan
Pembangunan
yang sedang digalakkkan memerlukan paradigma, suatu kerangka berpikir atau
suatu model mengenai bagaimana hal-hal yang sangat esensial dilakukan. Denis
Goulet tokoh yang merintis etika pembangunan menyebut tiga pandangan tentang
pembangunan (M.Sasatrapratedja, 2001) :
Pertama, pandangan yang
melihat pembangunan sinonim dengan pertumbuhan ekonomi, dengan indikator GNP
dan tingkat pertumbuhan per tahun; kedua sebagaimana dirumuskan oleh PBB, bahwa
“pembangunan = pertumbuhan ekonomi + perubahan sosial”. Pembangunan dalam
artian ini sangat luas, namun kerapkali ditekankan pada perkembangan pembagian
kerja, kebutuhan institusi pandangan; ketiga mengenai pembangunan menenkankan
nilai-nilai etis. Tekanan diberikan paada peningkatan kualitatif seluruh
masyarakat dan seluruh individu dalam masyarakat. Dalam konsepsi ini yang
ditekankan bukan hanya hasil yang bermanfaat, tetapi proses pencapaian hasil
juga penting. Pembangunan dalam perspektif Pancasila adalah pembangunan yang
sarat muatan nilai yang berfungsi menjadi dasar pengembangan visi dan menjadi
referensi kritik terhadap pelaksanaan pembangunan.
B.
Implementasi Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan Pendidikan
1.
Pancasila sebagai Paradigma
Pembangunan Pendidikan
Pendidikan
pada hakikatnya adalah usaha sadar untuk mengembangkan kepribadian dan
kemampuan/keahlian dalam kesatuan organis harmonis dinamis, di dalam dan di
luar sekolah dan berlangsung seumur hidup. Mengembangkan kepribadian dan
kemampuan/keahlian, menurut Notonagoro (1973) merupakan sifat dwi tunggal
pendidikan nasional. Pendidikan nasional harus dipersatukan atas dasar
Pancasila. Tak seyogyanya bagi penyelesaian masalah-masalah pendidikan nasional
dipergunakan secara langsunag sistem-sistem aliran-aliran ajaran, teori,
filsafat, praktek pendidikan berasal dari luar. Menurut Notonagoro (1973),
perlu disusun sistem ilmiah berdasarkan Pancasila tentang ajaran, teori,
filsafat, praktek pendidikan nasional. Dalam pada itu filsafat pendidikan
nasional mempunyai kedudukan dan fungsi sebagai pemberi pedoman dan tujuan, memberi perdalaman, penginti, pendasar,
perangkum; penggunaan sistem-sistem dan ajaran-ajaran berasal dari luar
setelah diintegrasikan dengan sistem pendidikan nasional hanya sebagai pembantu,
perbandingan, pemerkayaan dan dalam lain-lain peranan tidak langsung atau
sekunder; dengan demikian akan teratasi pula kemungkinan-kemungkinan
terbelahnya kepribadian para ahli pendidikan, yang akibatnya akan menimpa
kepada anak didik dengan resiko yang besar bagi hari depan bangsa.
2.
Pancasila sebagai Pembangunan
Ideologi
Ideologi adalah suatu kompleks ide-ide asasi
tentang manusia dan dunia yang dijadikan pedoman dan cita-cita hidup (Driyakara,
1976). Ideologi bukan hanya pengertian, ideologi adalah prinsip dinamika,
karena merupakan pedoman (menjadi pola dan norma hidup) dan sekaligus juga
ideal atau cita-cita. Realisasi dari ide-ide yang menjadi ideologi itu
dipandang sebagai kebesaran, kemuliaan manusia. Pengembangan Pancasila sebagai
ideologi yang memiliki dimensi realitas, idealitas dan fleksibilitas (Pancasila
sebagai ideologi terbuka) menghendaki adanya dialog yang tiada henti dengan
tantangan-tantangan masa kini dan masa depan dengan tetap mengacu kepada
pancapaian tujuan nasional dan cita-cita nasional Indonesia.
3.
Pancasila sebagai Paradigma
Pembangunan Politik
Manusia Indonesia selaku warga negara harus ditempatkan sebagai subjek atau pelaku politik bukan sekadar objek politik. Pancasila
bertolak dari kodrat manusia maka pembangunan
politik harus dapat meningkatkan harkat dan martabat manusia. Sistem
politik Indonesia yang bertolak dari manusia sebagai subjek harus
mampu menempatkan kekuasaan tertinggi pada rakyat. Kekuasaan adalah dari rakyat,
oleh rakyat dan untuk rakyat. Sistem politik Indonesia yang sesuai pancasila
sebagai paradigma adalah sistem politik demokrasi bukan otoriter. Berdasar hal itu,
sistem politik Indonesia harus dikembangkan atas asas kerakyatan (sila IV
Pancasila). Pengembangan selanjutnya adalah sistem politik didasarkan pada
asas-asas moral daripada sila-sila pada pancasila. Oleh
karena itu, secara berturut-turut sistem politik Indonesia
dikembangkan atas moral ketuhanan, moral
kemanusiaan, moral persatuan, moral kerakyatan, dan moral keadilan. Perilaku
politik, baik dari warga negara maupun penyelenggara negaradikembangkan atas
dasar moral tersebut sehingga
menghasilkan perilaku politik yang santun dan bermoral. Pancasila sebagai paradigma
pembangunan politik, artinya bahwa nilai-nilai pancasila sebagai wujud
cita-cita Indonesia diimplementasikan sebagai penerapan dan pelaksanaan keadilan
sosial mencakup keadilan politik, budaya agama dan ekonomi dalam kehidupan
sehari-hari, mendahulukan kepentingan rakyat/demokrasi dalam pengambilan
keputusan, melaksanakan keadilan sosial dan penentuan perioritas
kerakyatan berdasarkan konsep mempertahankan kesatuan bangsa, dalam
pelaksanaan pencapaian tujuan keadilan menggunakan pendekatan kemanusiaan yang
adil dan beradab. Nilai-nilai kejujuran, toleransi
harus bersumber pada nilai-nilai ketuhanan YME.
4.
Pancasila sebagai Paradigma
Pembangunan Ekonomi
Sesuai dengan
paradigma pancasila dalam pembangunan ekonomi maka sistem dan pembangunan
ekonomi berpijak pada nilai moral daripada pancasila. Secara khusus, sistem
ekonomi harus mendasarkan pada dasar moralitas ketuhanan (sila IPancasila) dan
kemanusiaan ( sila II Pancasila). Sistem ekonomi yang mendasarkan pada
moralitas dam humanistis akan menghasilkan sistem ekonomi yang berperikemanusiaan.
Sistem ekonomi yang menghargai hakikat manusia, baik selaku makhluk
individu, sosial, makhluk pribadi maupun makhluk tuhan. Sistem
ekonomi yang berdasar pancasila berbeda dengan sistem
ekonomi liberal yang hanya menguntungkan individu-individu tanpa
perhatian pada manusia lain. Sistem ekonomi demikian juga
berbeda dengan sistem ekonomi dalam sistem sosialis yang tidak
mengakui kepemilikan individu. Pancasila bertolak dari
manusia sebagai totalitas dan manusia sebagai subjek. Oleh karena itu,
sistem ekonomi harus dikembangkan menjadi sistem dan pembangunan ekonomi
yang bertujuan pada kesejahteraan rakyat secara keseluruhan. Sistem
ekonomi yang berdasar pancasila adalah sistem ekonomi kerakyatan
yang berasaskan kekeluargaan. Sistem ekonomi Indonesia juga tidak
dapat dipisahkan dari nilai-nilai moral
kemanusiaan. Pembangunan ekonomi harus mampu menghindarkan diri
dari bentuk-bentuk persaingan bebas, monopoli
dan bentuk lainnya yang hanya akan menimbulkan penindasan,
ketidakadilan, penderitaan, dan kesengsaraan warga negara. Tujuan ekonomi untuk memmenuhi
kebutuhan manusia agar lebih sejahtera, maka ekonomi harus menghindarkan diri
dari persaingan bebas, dari monopoli, ekonomi harus menghindari yang
menimbulkan penderitaan manusia dan yang menimbulkan penindasan manusia satu
dengan yang lain
5.
Pancasila sebagai paradigma
Pembangunan Sosial-Budaya
Pancasila pada
hakikatnya bersifat humanistik karena memang pancasila bertolak dari
hakikat dan kedudukan kodrat manusia itu sendiri. Hal ini sebagaimana tertuang
dalam sila Kemanusiaan yang adil dan beradab. Oleh karena itu, pembangunan
sosial budaya harus mampu meningkatkan harkat dan martabat manusia, yaitu
menjadi manusia yang berbudaya dan beradab. Pembangunan sosial
budaya yang menghasilkan manusia-manusia biadab, kejam,
brutal dan bersifat anarkis jela bertentangan dengan
cita-cita menjadi manusia adil dan beradab.
Manusia tidak cukup sebagai manusia secara fisik, tetapi
harus mampu meningkatkan derajat kemanusiaannya. Manusia
harus dapat mengembangkan dirinya dari tingkat homo menjadi
human. Berdasar sila persatuan Indonesia, pembangunan sosial budaya dikembangkan
atas dasar penghargaan terhadap nilai sosial dan budaya-budaya yang
beragam si seluruh wilayah Nusantara menuju pada tercapainya rasa
persatuan sebagai bangsa. Perlu ada pengakuan dan
penghargaan terhadap budaya dan kehidupan sosial berbagai kelompok
bangsa Indonesia sehingga mereka merasa dihargai dan diterima sebagai
warga bangsa. Dengan demikian, pembangunan sosial budaya tidak menciptakan
kesenjangan, kecemburuan, diskriminasi, dan ketidakadilan sosial.
6.
Pancasila sebagai Paradigma
Ketahanan Nasional
Salah satu tujuan
bernegara Indonesia adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia. Hal ini mengandung makna bahwa tugas dan tanggung
jawab tidak hanya oleh penyelenggara negara saja, tetapi juga rakyat Indonesia
secara keseluruhan. Atas dasar tersebut, sistem pertahanan dan keamanan
adalah mengikut sertakan seluruh komponen bangsa. Sistem pembangunan pertahanan
dan keamanan Indonesia disebut sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta
(sishankamrata). Sistem pertahanan yang
bersifat semesta melibatkan seluruh warga negara,wilayah, dan sumber daya
nasional lainnya, serta dipersiapkan secara dini olehpemerintah dan
diselenggarakan secara total terpadu, terarah, dan berlanjut untuk
menegakkan kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan segenap bangsa
dari segala ancaman. Penyelenggaraan sistem pertahanan semesta didasarkan pada
kesadaran atas hak dan kewajiban warga negara, serta keyakinan pada kekuatan
sendiri. Sistem ini pada dasarnya sesuai dengan nilai-nilai pancasila,
di mana pemerintahan dari rakyat (individu) memiliki hak dan
kewajiban yang sama dalam masalah pertahanan negara
dan bela negara. Pancasila sebagai paradigma pembangunan
pertahanan keamanan telahditerima bangsa Indonesia sebagaimana tertuang
dalam UU No. 3 Tahun 2002 tentang pertahanan Negara. Dalam undang-undang
tersebut dinyatakan bahwa pertahanan negara bertitik tolak pada falsafah
dan pandangan hidup bangsa Indonesia untuk menjamin keutuhan dan tetap tegaknya
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
7.
Pancasila sebagai Paradigma
Pembangunan Hukum
Pembangunan
hukum bukan hanaya memperhatikan nilai-nilai filosofis, asas yang terkandung
dalam konsep negara hukum, tetapi juga mempertimbangkan kualitas penegakan
hukum dan kesadaran hukum masyarakat (Moh. Busyro Muqoddas, Salman Luthan &
Muh. Miftahudin, 1992). Sistem hukum menurut wawasan Pancasila merupakan bagian
integral dari keseluruhan sistem kehidupan masyarakat sebagai satu keutuhan dan
karena itu berkaitan secara timbal balik, melaui berbagai pengaruh dan
interaksinya, dengan sistem-sistem lainnya. Pancasila sebagai ideologi nasional
memberikan ketentuan mendasar, yakni :
(1) sistem hukum dikembangkan berdasarkan nilai-nilai Pancasila sebagai
sumbernya, (2) Sistem hukum menunjukkan maknanya, sejauh mewujudkan keadilan,
(3) Sistem hukum mempunyai fungsi untuk menjaga dinamika kehidupan bangsa, (4)
Sistem hukum menjamin proses realisasi diri bagi para warga banagsa dalam
proses pembangunan (Soerjanto Poeswardjo, 1989). Melaui hukum manusia hendak
mencapai ketertiban umum dan keadilan. Meski harus disadari bahwa ketertiban umum
dan keadilan yang hendak dicapai melaui hukum itu hanya bisa dicapai dan
dipertahankan secara dinamis melaui penyelenggaraan hukum dalam suatu proses
sosial yang sendirinya adalah fenomena dinamis (Budiono Kusumohardjojo, 2000).
8.
Pancasila sebagai Paradigma
Pembangunan Kehidupan Beragama
Masing-masing
agama, bahkan sesungguhnya masing-masing kelompok intern suatu agama, mempunyai
idion yang khas, yang hanaya berlaku secara intern. Oleh karena itu, ikut
campur penganut agama tertentu terhadap kesucian orang dari agama lain, adalah
tidak masuk akal dan hasilnya pun akan nihil (Nurcholis Madjid, 2001). Kita
hidup dalam dunia yang mempunyai perbedaan dan pluralisme luar biasa. Termasuk
pluralisme keagamaan yang sangat kompleks, yang sangat kompleks, yang membutuhkan
ketelitian kajian untuk memperkirakan seberapa jauh warisan keagamaan dan
spiritual umat manusia mampu membantu menciptakan dunia yang lebih adil dan
penuh kedamaian (Mukti Ali, 1998). Salah satu prasyarat terwujudnya masyarakat
modern yang demokratis adalah terwujudnya masyarakat yang menghargai
kemajemukan (pluralitas) masyarakat dan bangsa serta mewujudkannya sebagai
suatu keniscayaan . kemajemukan ini merupakan sunnatullah (hukum alam). Dilihat dari segi etnis bahasa, agama,
dan sebagainya, Indonesia termasuk salah satu negara yang paling majemuk di
dunia. Sehingga terumuskan konsep
pluralisme ini dengan semboyan “Bhineka Tunggal Ika”(Masyukri Abdillah, 2001).
Bila agama
disalahgunakan, akibatnya bisa amat destruktif dan mengerikan. Orang akan dengan
mudah saling membunuh atas nama Tuhan. Fenomena ini tidak saja terjadi antar
pemeluk agama yang berbeda, tetapi juga terjadi di kalangan intern pemeluk
agama yang sama. Bila keadaan semacam ini yang berlaku, ketulusan dan kejujuran
sebagai manifestasi otentik dari iman sudah tidak berdaya lagi. Yang berkuasa
adalah bisikan setan yang menjerumuskan (Ahmad Syafi’i Ma’arif, 2001). Ini
bertentangan dengan nilai-nilai religius dan nilai-nilai Pancasila. Dalam kaitannya hubungan antar pemeluk agama,
Ahmad Sya’i Ma’arif(2001) menyampaikan formula, “berbeda dalam persaudaraan dan bersaudara
dalam perbedaan”. Di luar formula ini dikhawatirkan, agama tidak lagi
berfungsi sebagai sumber kedamaian dan keamanan, tetapi menjadi sumber sengketa
dan kekacauan, bahkan sumber peperangan.
9.
Pancasila sebagai Paradigma
Pengembangan Ilmu dan Teknologi
Pancasila
mengandung hal-hal yang penting dalam pengembangan ilmu dan teknologi(T.Jacob,
2000). Sila Ketuhanan Yang Maha Esa mengingatkan
manusia bahwa ia hanyalah makhluk yang mempunyai keterbatasan seperti
makhluk-makhluk lain. Baik yang hidup maupun yang tidak hidup. Ia tidak dapat
terlepas dari alam, sedangkan alam raya dapat berada tanpa manusia. Sila Kemanusiaan yang adil dan beradab sangat
penting dalam pengembangan IPTEK. Menyejahterakan manusia haruslah dengan
cara-cara yang berperikemanusiaan. Desain, eksperimen, ujicoba dan penciptaan
harus etis dan tidak merugikan manusia individual maupaun umat manusia, yang
sekarang maupun yang akan datang. Sila Persatuan
Indonesia mengingatkan kita untuk mengembangkan IPTEK tentang dan untuk
seluruh tanah air dan bangasa. Segi-segi yang khas Indonesia harus mendapat
prioritas untuk dikembangkan secara merata untuk kepentingan seluruh bangsa,
tidak hanya atau terutama untuk kepentingan bangsa lain. Sila Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan
perwakilan meminta kita membuka kesempatan yang sama bagi semua warga untuk
dapat mengembangkan IPTEK, dan mengenyam hasilnya, sesuai kemampuan dan
keperluan masing-masing. Sila keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia memperkuat keadilan yang lengkap dalam
alokasi dan perlakuan, dalam pemutusan, pelaksanaan, perolehan hasil, dan
pemikulan resiko, dengan memaksimalkan kelompok minimum.
Wacana Akhir
Istilah
paradigma pada mulanya dipakai dalam bidang filsafat ilmu pengetahuan. Menurut
Thomas Kuhn, Orang yang pertama kali mengemukakan istilah tersebut menyatakan
bahwa ilmu pada waktu tertentu didominasi oleh suatu paradigma. Paradigma
adalah pandangan mendasar dari para ilmuwan tentang apa yang menjadi pokok
persoalan suatu cabang ilmu pengetahuan. Dengan demikian, paradigma sebagai
alat bantu para illmuwan dalam merumuskan apa yang harus dipelajari, apa yang
harus dijawab, bagaimana seharusnya dalam menjawab dan aturan-aturan yang bagaimana
yang harus dijalankan dalam mengetahui persoalan tersebut. Suatu paradigma
mengandung sudut pandang, kerangka acuan yang harus dijalankan oleh
ilmuwan yang mengikuti paradigma tersebut. Dengan suatu paradigma atau sudut
pandang dan kerangka acuan tertentu, seorang ilmuwan dapat menjelaskan sekaligus
menjawab suatu masalah dalam ilmu pengetahuan.
Istilah
paradigma makin lama makin berkembang tidak hanya di bidang ilmu pengetahuan,
tetapi pada bidang lain seperti bidang politik, hukum, sosial dan ekonomi.
Paradigma kemudian berkembang dalam pengertian sebagai kerangka pikir, kerangka
bertindak, acuan, orientasi, sumber, tolok ukur, parameter, arah dan tujuan.
Sesuatu dijadikan paradigma berarti sesuatu itu dijadikan sebagai kerangka,
acuan, tolok ukur, parameter, arah, dan tujuan dari sebuah kegiatan. Dengan
demikian, paradigma menempati posisi tinggi dan penting dalam melaksanakan
segala hal dalam kehidupan manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Abdulkadir
Besar. 1996. “Perkembangan Ideologi-Ideologi Dunia dan Ketahanan Nasional”,
dalam Ichlasul Amal & Armaidy Armawi (ed). Sumbangan Ilmu Sosial terhadap Konsepsi Ketahanan Nasional. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Ahmad
Syafi’i Ma’arif. 2001. “Agama dan Ketulusan”, dalam Nur Achmad (ed), Pluralitas Agama : Kerukunan dalam
Keberagaman. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Budiono
Kusumohanidjojo. 2000. Kebhinekaan
Masyarakat Indonesia : Suatu Problematik Filsafat Kebudayaan. Jakarta: Penerbit PT. Gramedia Widiasarana Indonesia.
Burhanudin Daya. 2004. Agama Dialogis. Yogyakarta: LKIS
Driyakara. 1980. Driyakara Tentang Pendidikan,
Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
-------------.
2006. Karya Lengkap Driyakara. A.
Sudiardja, dkk (ed). Yogyakarta: Penerbit Kompas, Gramedia & Kanisius.
Masykuri
Abdillah. 2001. “Pluralisme dan Toleransi”, dalam Nur Achmad (ed), Pluralitas Agama : Kerukunan dan Keragaman,
Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Moh.
Busyro Muqoddas, Salman Luthan & Muh. Miftahudin (ed). 1992. Politik Pembangunan Hukum Nasional.
Yogyakarta: Penerbit UII Press.
M.
Sastrapratedja. 2001. Pancasila sebagai Visi dan Referensi Kritik Sosial,
Yogyakarta: Penerbit Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Muchtar Buchori. 2001. Pendidikan Antisipatoris. Yogyakarta:
Penerbit Kanisius.
Mubyarto.
1997. “Bung Hatta dan Perekonomian Rakyat” dalam Pemikiran Pembangunan Bung
Hatta. Jakarta: LP3ES.
Notonagoro.
1973. Filsafat Pendidikan Nasional Pancasila, FIP IKIP YOGYAKARTA.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar